Makalah
IMAN DAN TAKWA
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita dan tak lupa pula kita mengirim salam dan salawat
kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawakan kita suatu ajaran
yang benar yaitu agama Islam, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul ‘’Iman dan Takwa” ini dengan lancar.
Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang kami peroleh
dari berbagai sumber yang berkaitan dengan agama islam serta infomasi dari
media massa yang berhubungan dengan agama islam, tak lupa kami ucapkan terima
kasih kepada pengajar matakuliah Pendidikan Agama Islam atas bimbingan dan
arahan dalam penulisan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan mahasiswa yang telah
mendukung sehingga dapat diselesaikannya makalah ini.
Kami harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua,
dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai iman dan takwa, khususnya
bagi penulis. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang
lebih baik.
Pancor............
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR
BAB I
PENDAHULUAN
1. Iman Dan
Taqwa
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan
Masalah
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
3.2 Problematika tantangan dan resiko dalam kehidupan modern
3.3 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
BAB IV
PENUTUP
4.1
KESIMPULAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Iman Dan Taqwa
Aktualisasi taqwa adalah bagian dari sikap bertaqwa seseorang. Karena begitu
pentingnya taqwa yang harus dimiliki oleh setiap mukmin dalam kehidupan dunia
ini sehingga beberapa syariat islam yang diantaranya puasa adalah sebagai wujud
pembentukan diri seorang muslim supaya menjadi orang yang bertaqwa, dan lebih
sering lagi setiap khatib pada hari jum’at atau shalat hari raya selalu
menganjurkan jamaah untuk selalu bertaqwa. Begitu seringnya sosialisasi taqwa
dalam kehidupan beragama membuktikan bahwa taqwa adalah hasil utama yang diharapkan
dari tujuan hidup manusia (ibadah).
Taqwa adalah satu hal yang sangat penting dan harus dimiliki setiap muslim.
Signifikansi taqwa bagi umat islam diantaranya adalah sebagai spesifikasi
pembeda dengan umat lain bahkan dengan jin dan hewan, karena taqwa adalah
refleksi iman seorang muslim. Seorang muslim yang beriman tidak ubahnya seperti
binatang, jin dan iblis jika tidak mangimplementasikan keimanannya dengan sikap
taqwa, karena binatang, jin dan iblis mereka semuanya dalam arti sederhana beriman
kepada Allah yang menciptakannya, karena arti iman itu sendiri secara sederhana
adalah “percaya”, maka taqwa adalah satu-satunya sikap pembeda antara manusia
dengan makhluk lainnya. Seorang muslim yang beriman dan sudah mengucapkan dua
kalimat syahadat akan tetapi tidak merealisasikan keimanannya dengan
bertaqwa dalam arti menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganNya, dan dia juga tidak mau terikat dengan segala aturan agamanya
dikarenakan kesibukannya atau asumsi pribadinya yang mengaggap eksistensi
syariat agama sebagai pembatasan berkehendak yang itu adalah hak asasi manusia,
kendatipun dia beragama akan tetapi agamanya itu hanya sebagai identitas
pelengkap dalam kehidupan sosialnya, maka orang semacam ini tidak sama dengan binatang
akan tetapi kedudukannya lebih rendah dari binatang, karena manusia dibekali
akal yang dengan akal tersebut manusia dapat melakukan analisis hidup, sehingga
pada akhirnya menjadikan taqwa sebagai wujud implementasi dari keimanannya.
Taqwa adalah sikap abstrak yang tertanam dalam hati setiap muslim, yang
aplikasinya berhubungan dengan syariat agama dan kehidupan sosial. Seorang
muslim yang bertaqwa pasti selalu berusaha melaksanakan perintah Tuhannya dan
menjauhi segala laranganNya dalam kehidupan ini. Yang menjadi permasalahan
sekarang adalah bahwa umat islam berada dalam kehidupan modern yang serba
mudah, serba bisa bahkan cenderung serba boleh. Setiap detik dalam kehidupan
umat islam selalu berhadapan dengan hal-hal yang dilarang agamanya akan tetapi
sangat menarik naluri kemanusiaanya, ditambah lagi kondisi religius yang kurang
mendukung. Keadaan seperti ini sangat berbeda dengan kondisi umat islam
terdahulu yang kental dalam kehidupan beragama dan situasi zaman pada waktu itu
yang cukup mendukung kualitas iman seseorang. Olah karenanya dirasa perlu
mewujudkan satu konsep khusus mengenai pelatihan individu muslim menuju sikap
taqwa sebagai tongkat penuntun yang dapat digunakan (dipahami) muslim siapapun.
Karena realitas membuktikan bahwa sosialisasi taqwa sekarang, baik yang
berbentuk syariat seperti puasa dan lain-lain atau bentuk normatif seperti
himbauan khatib dan lain-lain terlihat kurang mengena, ini dikarenakan beberapa
faktor, diantaranya yang pertama muslim yang bersangkutan belum paham
betul makna dari taqwa itu sendiri, sehingga membuatnya enggan untuk memulai,
dan yang kedua ketidaktahuannya tentang bagaimana, darimana dan kapan dia harus
mulai merilis sikap taqwa, kemudian yang ketiga kondisi sosial dimana dia hidup
tidak mendukung dirinya dalam membangun sikap taqwa, seperti saat sekarang
kehidupan yang serba bisa dan cenderung serba boleh. Oleh karenanya setiap
individu muslim harus paham pos – pos alternatif yang harus dilaluinya,
diantaranya yang paling awal dan utama adalah gadhul bashar (memalingkan
pandangan), karena pandangan (dalam arti mata dan telinga) adalah awal dari
segala tindakan, penglihatan atau pendengaran yang ditangkap oleh panca indera
kemudian diteruskan ke otak lalu direfleksikan oleh anggota tubuh dan akhirnya
berimbas ke hati sebagai tempat bersemayam taqwa, jika penglihatan atau
pendengaran tersebut bersifat negatif dalam arti sesuatu yang dilarang agama
maka akan membuat hati menjadi kotor, jika hati sudah kotor maka pikiran (akal)
juga ikut kotor, dan ini berakibat pada aktualisasi kehidupan nyata, dan jika
prilaku, pikiran dan hati sudah kotor tentu akan sulit mencapai sikap taqwa.
Oleh karenanya dalam situasi yang serba bisa dan sangat plural ini dirasa perlu
menjaga pandangan (dalam arti mata dan telinga) dari hal – hal yang dilarang
agama sebagai cara awal dan utama dalam mendidik diri menjadi muslim yang
bertaqwa. Menjaga mata, telinga, pikiran, hati dan perbuatan dari hal-hal yang
dilarang agama, menjadikan seorang muslim memiliki kesempatan besar dalam
memperoleh taqwa. Karena taqwa adalah sebaik–baik bekal yang harus kita peroleh
dalam mengarungi kehidupan dunia yang fana dan pasti hancur ini, untuk dibawa
kepada kehidupan akhirat yang kekal dan pasti adanya. Adanya kematian sebagai
sesuatu yang pasti dan tidak dapat dikira-kirakan serta adanya kehidupan
setelah kematian menjadikan taqwa sebagai obyek vital yang harus digapai dalam
kehidupan manusia yang sangat singkat ini. Memulai untuk bertaqwa adalah dengan
mulai melakukan hal-hal yang terkecil seperti menjaga pandangan, serta melatih
diri untuk terbiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya,
karena arti taqwa itu sendiri sebagaimana dikatakan oleh Imam Jalaluddin
Al-Mahally dalam tafsirnya bahwa arti taqwa adalah “imtitsalu awamrillahi
wajtinabinnawahih”, menjalankan segala perintah Allah dan menjauhi segala
laranganya.
BAB II
MASALAH
2.1 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Iman dan Taqwa?
2.Hubungan timbal balik antara Taqwa dan Iman ?
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Pengertian iman dan taqwa
Pengertian Iman menurut bahasa adalah membenarkan. Adapun menurut istilah
syari’at yaitu meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
membuktikannya dalam amal perbuatan yang terdiri dari tujuh puluh tiga hingga
tujuh puluh sembilan cabang. Yang tertinggi adalah ucapan لاَ اِلَهَ اِلاَّ لله dan yang terendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan yang menggangu orang yang sedang berjalan,
baik berupa batu, duri, barang bekas, sampah, dan sesuatu yang berbau tak sedap
atau semisalnya. Iman merupakan perpaduan antara aqidah dengan syariah atau
perpaduan keyakinan dan amal dan perbuatan,tetapi jika tidak melaksanakan
ketentuan Allah dan rasulnya maka orang itu belum bias dikatakan beriman.
Rasulullah Shallahu’alaihi wa sallam bersabda, ”Iman
lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang, paling utamanya perkataan dan
yang paling rendahnya menyingkirkan gangguan dari jalan, dan malu merupakan
cabang dari keimanan.” (Riwayat Muslim: 35, Abu Dawud: 4676, Tirmidzi:
2614). Adapun cakupan dan jenisnya, keimanan mencakup seluruh bentuk amal
kebaikan yang kurang lebih ada tujuh puluh tiga cabang. Karena itu Allah
menggolongkan dan menyebut ibadah shalat dengan sebutan iman dalam
firmanNya, ”Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu” (QS.
Al-Baqarah:143). Para ahli tafsir menyatakan, yang dimaksud ’imanmu’ adalah
shalatmu tatkala engkau menghadap ke arah baitul maqdis, karena sebelum turun
perintah shalat menghadap ke Baitullah (Ka’bah) para sahabat mengahadap ke
Baitul Maqdis.
Iman kepada Allah adalah mempercayai bahwa Dia itu maujud
(ada) yang disifati dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan, yang suci
dari sifat-sifat kekurangan. Dia Maha Esa, Mahabenar, Tempat bergantung para
makhluk, tunggal (tidak ada yang setara dengan Dia), Pencipta segala makhluk,
Yang melakukan segala yang dikehendakiNya, dan mengerjakan dalam kerajaanNya
apa yang dikehendakiNya. Beriman kepada Allah juga bisa diartikan, berikrar
dengan macam-macam tauhid yang tiga serta beri’tiqad (berkeyakinan) dan beramal
dengannya yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah dan tauhid al-asma’ wa
ash-shifaat.
Iman kepada Allah mengandung empat unsur:
1. Beriman akan adanya Allah. Mengimani adanya Allah ini bisa dibuktikan dengan:
(a). Bahwa manusia mempunyai fitrah mengimani adanya
Tuhan
Tanpa harus di dahului dengan berfikir dan sebelumnya.
Fitrah ini tidak akan berubah kecuali ada sesuatu pengaruh lain yang mengubah
hatinya. Nabi Shallahu’alaihi wa sallam bersabda: ”Tidaklah anak itu lahir
melainkan dalam keadaan fitrah, kedua orangtuanya lah yang menjadikan mereka
Yahudi, Nashrani, atau Majusi.” (HR. Bukhori). Bahwa makhluk tersebut tidak
muncul begitu saja secara kebetulan, karena segala sesuatu yang wujud pasti ada
yang mewujudkan yang tidak lain adalah Allah, Tuhan semesta alam. Allah
berfirman, ”Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang
menciptakan (diri mereka sendiri)?” (QS. Ath-Thur: 35)
Maksudnya, tidak mungkin mereka tercipta tanpa ada yang
menciptakan dan tidak mungkin mereka mampu menciptakan dirinya sendiri. Berarti
mereka pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah yang maha suci.
(b). Adannya kitab-kitab samawi
Yang membicarakan tentang adanya Allah. Demikian pula
hukum serta aturan dalam kitab-kitab tersebut yang mengatur kehidupan demi
kemaslahatan manusia menunjukkan bahwa kitab-kitab tersebut berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa
(c). Adanya orang-orang yang dikabulkan do’anya.
Ditolongnya orang-orang yang sedang mengalami kesulitan,
ini menjadi bukti-bukti kuat adanya Allah.
(d). Adanya tanda-tanda kenabian seorang utusan
yang disebut mukjizat
suatu bukti kuat adanya Dzat yang mengutus mereka yang
tidak lain Dia adalah Allah Azza wa Jalla. Misalnya: Mukjizat nabi Musa
’Alahissalam. Tatkala belau diperintah memukulkan tongkatnya ke laut sehngga
terbelahlah lautan tersebut menjadi dua belas jalan yang kering dan air di
antara jalan-jalan tersebut laksana gunung. Firman Allah, ”Lalu kami
wahyukan kepada Musa: “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah
lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar” (QS.
Asy-Syu’ara’: 63)
Pengertian
TAQWA secara dasar adalah Menjalankan
perintah, dan menjauhi larangan. Kepada siapa ??? maka dilanjukan dengan
kalimat Taqwallah yaitu taqwa kepada Allah SWT. Kelihatan kata-kata tersebut
ringan diucapkan tapi kenyataan-nya banyak orang yang belum sanggup bahkan
terkesan asal-asalan dalam menerapkan arti kata Taqwa tersebut, lihat sekitar
kita ada beberapa orang yang tidak berpuasa dan terang-terangan makan di tempat
umum, padahal bila ditanya ” mas, agama-nya apa?” jawab-nya muslim, ada juga
yang sudah berpuasa tapi masih suka melirik kanan-kiri dan ketika ditanya ”
mas, ini kan lagi puasa?” jawabnya cuma sebentar kan boleh. Ya… Allah,
manusia…, manusia.., sebenarnya banyak contoh bagaimana lingkungan di sekitar
kita atau mungkin diri saya pribadi masih belum mampu mengemban amanah
Taqwallah dengan sepenuhnya.
TAQWA = Terdiri dari 3 Huruf :
Ta = TAWADHU’ artinya sikap rendah dirii (hati),
patuh, taat baik kepada aturan Allah SWT, maupun kepada sesama muslim jangan menyombongkan
diri.
Qof = Qona’ah artinya Sikap menerima apa adanya (ikhlas),
dalam semua aspek, baik ketika mendapat rahmat atau ujian, barokah atau
musibah, kebahagiaan atau teguran dari Allah SWT, harus di syukuri dengan hati
yang lapang dada.
Wau = Wara’ artinya Sikap menjaga hati / diri
(Introspeksi), ketika menemui hal yang bersifat subhat (tidak jelas hukum-nya)
atau yang bersifat haram (yang dilarang) oleh Allah SWT.
Beberapa ulama
mendifinisikan dengan :
Taqwa = dari kata = waqa-yaqi-wiqayah = memelihara
yang artinya memelihara iman agar terhindar dari hal-hal yang dibenci dan
dilarang oleh Allah SWT.
Taqwa = Takut yang artinya takut akan murka da adzab
allah SWT.
Taqwa = Menghindar yang artinya menjauh dari segala
keburukan dan kejelekan dari sifat syetan.
Taqwa = Sadar yang artinya menyadari bahwa diri kita
makhluk ciptaan Allah sehingga apapun bentuk perintah-nya harus di taati, dan
jangan sekali-kali menutup mata akan hal ini. “Hai Orang-orang beriman
bertaqwalah kamu kepada Allah, dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah kalian
mati, melainkan dalam keadaan beragama islam.” (Al-Imron) :
Dr. Abdullah Nashih Ulwan menyebut ada 5 langkah yang
dapat dilakukan untuk mencapai taqwa, iaitu ;
a. Mu’ahadah Mu’ahadah
berarti selalu mengingat perjanjian kepada Allah swt.,
bahawa dia akan selalu beribadah kepada Allah swt. Seperti merenungkan
sekurang-kurangnya 17 kali dalam sehari semalam dia membaca ayat surat Al
Fatihah : 5 “Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon
pertolongan”
b. Muraqabah Muraqabah
berarti merasakan kebersamaan dengan Allah swt. dengan
selalu menyedari bahawa Allah swt. selalu bersama para makhluk-Nya dimana saja
dan pada waktu apa sahaja. Terdapat beberapa jenis muraqabah, pertamanya muraqabah
kepada Allah swt. dalam melaksanakan ketaatan dengan selalu ikhlas kepadaNya.
Kedua muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan
meninggalkannya secara total. Ketiga, muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah
dengan menjaga adab-adab kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmatNya.
Keempat muraqabah dalam mushibah adalah dengan redha. atas ketentuan Allah
serta memohon pertolonganNya dengan penuh kesabaran.
c. Muhasabah
Muhasabah sebagaimana yang ditegaskan dalam Al Quran surat
Al Hasyr: 18, “Wahai orang-orang yang beriman! Takwalah kepada Allah
dan hendaklah merenungkan setiap diri, apalah yang telah diperbuatnya untuk
hari esok. Dan takwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui
apa jua pun yang kamu kerjakan”
Ini bermakna hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya
tatkala selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk
mendapatkan redha. Allah? Atau apakah amalnya dicampuri sifat riya? Apakah ia
sudah memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak manusia.
d. Mu’aqabah Mu’aqabah
ialah
memberikan hukuman atau denda terhadap diri apabila melakukan kesilapan ataupun
kekurangan dalam amalan. Mu’aqabah ini lahir selepas Muslim melakukan ciri
ketiga iaitu muhasabah. Hukuman ini bukan bermaksud deraan atau pukulan
memudaratkan, sebaliknya bermaksud Muslim yang insaf dan bertaubat berusaha
menghapuskan kesilapan lalu dengan melakukan amalan lebih utama meskipun dia
berasa berat.dalam Islam, orang yang paling bijaksana ialah orang yang sentiasa
bermuhasabah diri dan melaksanakan amalan soleh.
e. Mujahadah
Makna mujahadah sebagaimana disebutkan dalam surat Al
Ankabut ayat 69 adalah apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan, santai,
cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang
lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal
sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Dalam hal ini ia harus tegas, serius dan
penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia
baginya dan menjadi sikap yang melekat dalam dirinya. Sebagai penutup, Allah
swt. telah berfirman dalam Al-Quran yang bermaksud: “Wahai orang-orang
yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan
janganlah kamu mati melainkan di dalam keadaan Islam”. (‘Ali Imran:
102)
2.2 Hubungan timbal balik antara taqwa dan iman
Iman dan taqwa adalah dua unsur pokok bagi pemeluk agama.
Keduanya merupakan elemen yang penting dalam kehidupan makhluq manusia dan
sangat erat hubungannya dalam menentukan nasib hidupnya serta memiliki fungsi
yang urgen.
Menurut ahli hukum, iman itu hanya sekedar pengakuan
suatu makna yang terkandung dalam lubuk hati, menurut para teolog, iman itu
adalah kepercayaan yang tertanam dalam lubuk hati dengan keyakinan yang kuat
tanpa tercampuri oleh keraguan dan berperan terhadap pendangan hidup atau amal
perbuatan sehari-hari. Sedangkan menurut berbagai filosof, iman diartikan lebih
jauh dari lafidz dan makna serta tidak terikat dengan dalil-dalil apologis.
Misalnya Karl Teodor Yoeper seorang filosof Jerman mengetengahkan istilah iman
falsafi yang universil yang berlaku untuk semua zaman dan kebudayaan. Isi iman
falsafi baginya, bahwa Allah itu ada, manusia harus mampu memilih memilih yang
baik secara tak bersarat, dunia tidak merupakan kenyataan terakhir dan bahwa
cinta kasih manusia merupakan suatu bukti adanya Allah. Semua
pengertian-pengertian yang dikemukakan diatas pada dasarnya menunjukkan, bahwa
iman itu berperanan dan berpengaruh terhadap tindak laku manusia dalam segala
aspek kahidupan manusia.
Menurut filosof islam Imam Ghozali bahwa iman itu
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau batin, dimana hati
dapat menangkap iman dalam pengertian hakiki melalui kasyaf yang diperoleh berkat
pancaran sinar Ilahi padanya. Dalam kesempatan lain beliau menegaskan, bahwa
arti iman adalah pengakuan yang kuat tidak ada pembuat (faa`il) selain
Allah. Makna iman yang dikemukakan ini menimbulkan problema metafisis,
diantaranya membatasi sebab pembuat (illah faa`iliyah) hanya kepada
Allah, manafikan kebebasan berikhtiar dari manusia serta penyerahan diri (tawakkal)
kepada-Nya. Pemikiran Imam Ghozali ini disebut dengan istilah tauhid, sebab
artinya keimanan itu tidak boleh menghubungkan sebab tersebut kepada selai
Allah. Dialah pembuat satu-satunya dan
selain-Nya hanya sekedar washilah (perantara). Hukumnya perantara itu dalam tinjauan filsafat juga
sebab, namun sebab pokok.
Bagi Imam Ghozali iman itu bukan lawan dari syirik,
tetapi peng-Esaan kepada Kholiq (Pencipta). Oleh karena itu bagi orang yang
meng-Esakan Allah harus bersikap tawakkal. Tawakkal bukan berarti maniadakan
ikhtiar, tetapi maniadakan kebebasan berikhtiar, karena dalam tawakkal manusia
berkesempatan untuk kasab (berusaha). Bahkan dengan tawakkal itu dapat mengenal hakekat ikhtiar
dan sekaligus dapat mengetahui nilai dan kualitas iman. Iman yang sebenarnya
harus membuahkan tawakkal, sehingga dapat memperoleh ridho Allah. Dalam kitab
suci dikemukakan, bahwa Nabi Hud, Nabi Musa dan tang lainya telah menjadikan
tawakkal sebagai benteng kekuatan bertaqwa dalam menghadapi kaumnya. Ini semua
menunjukkan, bahwa antara iman dan taqwa saling berpengaruh dalam membentuk
membentuk manusia berkepribadian luhur.
Taqwa itu pada prinsipnya adalah amal batin atau lahir,
baik yang bersifat mengikuti perintah Tuhan maupun amal yang berbentuk menjauhi
larangan Tuhan. Yang menjadi problema apakah unsur amal itu menjadi syarat
iman, dengan pengertian, bahwa apakah tanpa amal seseoran tidak dianggap
beriman. Iman adalah sesuatu yang tersembunyi dalam jiwa (Ma waqaro fil qalbi).
Berdasarkan eksperimen sebagian besar ahli jiwa berkesimpulan, bahwa iman
kepada Allah termasuk obat yang manjur untuk menyembuhkan penyakit jiwa atau
menghilangkan gangguan jiwa. Kesimpulan inin diperkuat oleh filosof-silosof
besar diantaranya Francis Bacon, William James, Kierkegoor dan lain-lain.
Menurut filosof Islam Jamaluddin Alafghoni, bahwa iman
kepada Allah menumbuhkan keteguahan pendirian dalam menghadapi kesulitan dan
bahaya, bahkan mampu untuk membentuk kerelaan dan meninggalkan kemewahan hidup,
manakala ada seruan untuk bejuang dijalan Allah. Dalam Islam pengaruh iman
diantaranya rasa tawakkal (Ali Imron: 160). Tawakkal dalam tinjauan tasawuf ini
harus seiring dengan kesabaran. Keberhasilan manusia tidak mungkin sepenuhnya
dari usaha sendiri. Sedangkan kecil dan tidaknya ditentukan oleh berbagai
faktor diluar kemampuannya. Faktor-faktor itu adalah sebab keberhasilan. Banyak
akibat yang sebabnya bermacam-macam dan sebaliknya, banyak sebab yang akibatnya
bermacam-macam. Banyak akibat yang sulit diketahui sebabnya dan banyak sebab
yang sulit diketahui akibatnya. Dalam situasi diatas sikap tawakkal sangat
diperlukan.
Kita diciptakan didunia ini untuk satu hikmah yang agung
dan bukan hanya untuk bersenang-senang dan bermain-main. Tujuan dan himah
penciptaan ini telah dijelaskan dalam firman Allah:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ مَآأُرِيدُ مِنْهُم
مِّن رِّزْقٍ وَمَآ أُرِيدُ أَن
يُطْعِمُونِ إِنَّ اللهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو
الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun
dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya
Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS.
51:56-58)
Allah telah menjelaskan dalam ayat-ayat ini bahwa tujuan
asasi dari penciptaan manusia adalah ibadah kepadaNya saja tanpa berbuat
syirik. Sehingga Allah pun menjelaskan salahnya dugaan dan keyakinan sekelompok
manusia yang belum mengetahui hikmah tersebut dengan menyakini mereka
diciptakan tanpa satu tujuan tertentu dalam firmanNya :
أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لاَ
تُرْجَعُونَ
Artinya : Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya
Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan
dikembalikan kepada Kami. (QS. 23:115)
Ayat yang mulia ini menjelaskan bahwa manusia tidak
diciptakan secara main-main saja, namun diciptakan untuk satu hikmah. Allah
tidak menjadikan manusia hanya untuk makan, minum dan bersenang-senang dengan
perhiasan dunia, serta tidak dimintai pertanggung jawaban atas semua prilakunya
didunia ini. Tentu saja jawabannya adalah kita semua diciptakan untuk satu
himah dan tujuan yang agung dan dibebani perintah dan larangan, kewajiban dan
pengharaman, untuk kemudian dibalas dengan pahala atas kebaikan dan disiksa
atas keburukan (yang dia amalkan) serta (mendapatkan) syurga atau neraka.
Demikianlah seorang manusia yang ingin sukses harus dapat
bersikap profesional dan proforsonal dalam mencapai tujuan tersebut, sebab
sesungguhnya tujuan akhir seorang manusia adalah mewujudkan peribadatan kepada
Allah dengan iman dan taqwa. Oleh karena itu orang yang paling sukses dan
paling mulia disisi Allah adalah yang paling taqwa, sebagaimana dijelaskan
dalam firman Allah:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Namun untuk mencapai kemulian tersebut membutuhkan dua
hal:
1.
I’tishom bihablillah. Hal ini dengan komitmen terhadap syariat Allah dan
berusaha merealisasikannya dalam semua sisi kehidupan kita. Sehingga dengan ini
kita selamat dari kesesatan. Namun hal inipun tidak cukup tanpa perkara yang
berikutnya, yaitu;
2.
I’tishom billah. Hal ini diwujudkan dalam tawakkal dan berserah diri serta
memohon pertolongan kepada Allah dari seluruh rintangan dan halangan mewujudkan
yang pertama tersebut. Sehingga dengannya kita selamat dari rintangan
mengamalkannya.
Sebab seorang bila ingin mencapai satu tujuan tertentu,
pasti membutuhkan dua hal, pertama, pengetahuan tentang tujuan tersebut dan
bagaimana cara mencapainya dan kedua, selamat dari rintangan yang menghalangi
terwujudnya tujuan tersebut.
Imam Ibnu Al Qayyim menyatakan: Poros kebahagian duniawi
dan ukhrowi ada pada I’tishom billahi dan I’tishom bihablillah dan tidak ada
kesuksesan kecuali bagi orang yang komitmen dengan dua hal ini. Sedangkan
I’tishom bi hablillah melindungi seseorang dari kesesatan dan I’tishom billahi
melindungi seseorang dari kehancuran. Sebab orang yang berjalan mencapai
(keridhoan) Allah seperti seorang yang berjalan diatas satu jalanan menuju
tujuannya. Ia pasti membutuhkan petunjuk jalan dan selamat dalam perjalanan,
sehingga tidak mencapai tujuan tersebut kecuali setelah memiliki dua hal ini.
Dalil (petunjuk) menjadi penjamin perlindungan dari kesesatan dan menunjukinya
kejalan (yang benar) dan persiapan, kekuatan dan senjata menjadi alat
keselamatan dari para perampok dan halangan perjalanan. I’tishom bi hablillah
memberikan hidayah petunjuk dan mengikuti dalil sedang I’tishom billah
memberikan kesiapan, kekuatan dan senjata yang menjadi penyebab keselamatannya
di perjalanan.
Oleh karena itu hendaknya kita menekuni bidang kita
masing-masing sehingga menjadi ahlinya tanpa meninggalkan upaya mengenal,
mengetahui dan mengamalkan ajaran islam yang merupakan satu kewajiban pokok
setiap muslim. Agar dapat mencapai tujuan penciptaan tersebut dengan menjadikan
keahlian dan kemampuan kita sebagai sarana ibadah dan peningkatan iman dan
takwa kita semua.
Tentu saja hal ini menuntut kita untuk dapat mengambil
faedah dan pengetahuan tantang syariat sebagai wujud syukur kita atas nikmat
yang Allah anugerahkan. Semua itu agar mereka mengakui bahwa mereka adalah
makhluk yang tunduk dan diatur dan mereka memiliki Rabb yang maha pencipta dan
maha mengatur mereka.
Peran iman dan taqwa
Adalah suatu masalah besar yang harus di hadapi
oleh setiap orang (Manusia) karna seperti yang kita lihat selama ini semakin
bertambahnya Zaman pasti akan ada perubahan! baik dalam segi moral, agama,
budaya, maupun dalam segi sosial kehidupan di dalam masyarakat. Dan yang paling
utama dalam segi agama, kepercayaan dan keyakinan sehingga dalam segi iman dan
taqwapun berkurang.
Peranan Iman
dan Taqwa dalam Menjawab Problema dan Tantangan Kehidupan Modern
Pengaruh iman terhadap kehidupan manusia sangat besar.
Berikut ini dikemukakan beberapa pokok manfaat dan pengaruh iman pada kehidupan
manusia.
1. Iman melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda.
Orang yang
beriman hanya percaya pada kekuatan dan kekuasaan Allah. Kepercayaan dan
keyakinan demikian menghilangkan sifat mendewa-dewakan manusia yang kebetulan
sedang memegang kekuasaan, menghilangkan kepercayaan pada kesaktian benda-benda
keramat, mengikis kepercayaan pada khurafat, takhyul, jampi-jampi dan
sebagainya. Pegangan orang yang beriman adalah surat al-Fatihah ayat 1-7.
2. Iman menanamkan semangat berani menghadap maut.
Orang yang
beriman yakin sepenuhnya bahwa kematian di tangan Allah. Pegangan orang beriman
mengenai soal hidup dan mati adalah firman Allah dalam QS. an-Nisa/4:78.
3. Iman menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
Rezeki atau
mata pencaharian memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. manusia
tidak segan-segan melepaskan prinsip, menjual kehormatan dan bermuka dua,
menjilat dan memperbudak diri untuk kepentingan materi. Pegangan orang beriman
dalam hal ini ialah firman Allah dalam QS. Hud/11:6.
4. Iman memberikan ketenteraman jiwa.
Orang yang
beriman mempunyai keseimbangan, hatinya tenteram (mutmainnah), dan jiwanya
tenang (sakinah), seperti dijelaskan dalam firman Allah surat ar-Ra’d/13:28.
5. Iman mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
Kehidupan
manusia yang baik adalah kehidupan orang yang selalu menekankan kepada kebaikan
dan mengerjakan perbuatan yang baik. Hal ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya
QS. an-Nahl/16:97.
6. Iman melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
Iman memberi
pengaruh pada seseorang untuk selalu berbuat dengan ikhlas, tanpa pamrih, kecuali
keridhaan Allah. Orang yang beriman senantiasa konsekuen dengan apa yang telah
diikrarkannya, baik dengan lidahnya maupun dengan hatinya. Ia senantiasa
berpedoman pada firman Allah dalam QS. al-An’am/6:162
7. Iman memberi keberuntungan
Allah membimbing dan mengarahkan pada tujuan hidup yang
hakiki. Dengan demikian orang yang beriman adalah orang yang beruntung dalam
hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2:5.
8. Iman
mencegah penyakit
Akhlak, tingkah laku, perbuatan fisik seorang mukmin,
atau fungsi biologis tubuh manusia mukmin dipengaruhi oleh iman. Hal itu karena
semua gerak dan perbuatan manusia mukmin, baik yang dipengaruhi oleh kemauan,
seperti makan, minum, berdiri, melihat, dan berpikir, maupun yang tidak dipengaruhi
oleh kemauan, seperti gerak jantung, proses pencernaan, dan pembuatan darah,
tidak lebih dari serangkaian proses atau reaksi kimia yang terjadi di dalam
tubuh. Organ-organ tubuh yang melaksanakan proses biokimia ini bekerja di bawah
perintah hormon. Kerja bermacam-macam hormon diatur oleh hormon yang diproduksi
oleh kelenjar hipofise yang terletak di samping bawah otak. Pengaruh dan
keberhasilan kelenjar hipofise ditentukan oleh gen (pembawa sifat) yang dibawa
manusia semenjak ia masih berbentuk zigot dalam rahim ibunya. Dalam hal ini iman mampu mengatur hormon dan
selanjutnya membentuk gerak, tingkah laku, dan akhlak manusia
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Iman dan taqwa sangat penting di kehidupan modern, jika
dalam kehidupan modern yang serba canggih tidak menghiraukan lagi keimanan dan
ketaqwaan kepada Allah maka akan banyak timbul problem dan tantangan yang
terjadi, baik dibidang ekonomi, social, agama, maupun keilmuan itu sendiri.
Iman dan
taqwa juga mempunyai peran penting dalam kehidupan dunia modern, dalam
kehidupan modern yang serba cepat sering kali memicu timbulnya stress dan
berbagai penyakit. Iman dan taqwa mempunyai peran antara lain:
1)
Iman dan taqwa melenyapkan kepercayaan pada kekuasaan benda,
2)
Iman dan taqwa menanamkan semangat berani menghadap maut
3)
Iman dan taqwa menanamkan sikap “self-help” dalam kehidupan.
4)
Iman dan taqwa memberikan ketenteraman jiwa.
5)
Iman dan taqwa mewujudkan kehidupan yang baik (hayatan tayyibah).
6)
Iman dan taqwa melahirkan sikap ikhlas dan konsekuen.
7)
Iman dan taqwa memberi keberuntunganIman mencegah penyakit
Iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati,
diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Iimaanu
‘aqdun bil qalbi waiqraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan
demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan
laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup
atau gaya hidup. Sedangkan takwa adalah menjadikan jiwa berada dalam
perlindungan dari sesuatu yang ditakuti, kemudian rasa takut juga dinamakan
takwa. Sehingga takwa dalam istilah syar’I adalah menjaga diri dari perbuatan
dosa.
Dapat disimpulkan, bahwa peran iman, diantaranya
menghilangkan gangguan jiwa, menumbuhkan keteguahan pendirian,
menumbuhkan kekuatan pengendali hawa nafsu, menumbuhkan tawakkal, menciptakan
tekat berbuat baik dan berperan menciptakan rasa cinta dan bahagia. Pegaruh kekuatan iman melahirkan akhlak dan moral dalam kehidupan
manusia, seperti jujur, adil dala segala situasi, diucapkan kebenaran walaupun
terasa sangat berat, ditegakkan kebenaran sekalipun berakibat merugikan dirinya
dan keluarganya, bersikap adil terhadap lawan sebagaimana bersikap adil di
tengah-tengah kawan, masih banyak lagi norma-norma luhur yang
dicetuskan oleh kekuatan iman. Oleh karena itu sangat patut sekali apabila dinyatakan bahawa iman dan
taqwa adalah kunci pengalaman nilai-nilai luhur.
DAFTAR PUSTAKA
Imtihana,aida.dkk.2009.Buku Ajar Mata Kuliah
Pengembangan Kepribadian Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi
Umum.Palembang:Universitas Sriwijaya.
Labay,Mawardi.2000.Zikir dan Do’a Iman Pengaman
Dunia.Jakarta:Al Mawardi Prima
“IMAN DAN TAQWA DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT”, Oleh: Prof. DR. K. H. Achmad
Mudlor, SH.